Sabtu, 13 Oktober 2012

Story of Latte (Oneshoot)



Author            : Eternal Jewel
Genre             : Angst
Rating             : PG-15          
Main Cast      :
Kim Jieum (OC)
Lee Joon MBLAQ

            Jieum memegang erat gelas kertas di tangannya. Cuaca dingin membuatnya sedikit merapatkan mantel bulu cokelatnya. Ia tersenyum. Menatap jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Ia tengah menunggu subway yang akan mengangkutnya ke tempat ia akan bertemu dengan namja kesayangannya.
            Senyum tak henti-hentinya tersungging dari bibir mungil Jieum. Ia menatap ke arah segelas latte yang tengah dipegangnya.
            “Cerita ini dimulai dari segelas latte…”
***
            Jieum menghitung-hitung uang koin yang ada di dalam dompet pandanya.
            “Sillyeohamnida, ahgassi. Apakah kau masih lama menghitung uangmu? Sudah banyak yang mengantri ingin menggunakan mesin ini.” ujar seorang wanita paruh baya kepada Jieum.
            Jieum hanya tersenyum tidak enak.
            “Ehhm, tunggu sebentar ya ahjumma, sebentar lagi aku selesai.”
            Ia lalu memasukkan beberapa keping koin 100 won dan kembali terpaku menatap layar digital yang berkedip-kedip.
            “Apa yang ingin aku beli, ya? Espresso? Capuccino? Latte? Atau…” ucap Jieum berpikir-pikir.
            Sekitar sepuluh orang yang berdiri di belakang Jieum benar-benar merasa kesal dan mengutuk kenapa gadis seperti ini bisa terlahir ke dunia ini dan mengacaukan hari mereka. Seorang pemuda menghampiri Jieum dan segera menekan tombol 3 pada mesin itu.
            “Ya! Mwohaneungeoya?! Kenapa kau asal menekan saja! Itu latte! Aku tidak suka latte!” seru Jieum kepada pemuda itu.
            “Kau lihat antrian di belakangmu? Aku hanya membuat semuanya menjadi lebih cepat. Jangan kesal padaku, kesallah pada dirimu yang memesan terlalu lama. Kau pikir hanya kau yang ingin membeli minuman?” ucap pemuda itu santai membuat Jieum mengepalkan tangannya kesal.
            Tiba-tiba segelas latte itu menyiram kepala pria itu. Membuatnya terlonjak kaget.
            “Mwohaneungeoya, hah?! Lihat yang kau lakukan! Astaga!” seru pria itu sibuk mengelap kepalanya yang terasa panas.
            Semua orang di tempat itu sontak terkejut dan sibuk memperhatikan mereka berdua. Beberapa di antara mereka sibuk berbisik-bisik menduga-duga apa yang terjadi. Banyak dari mereka yang beranggapan kalau Jieum dan pria tak dikenal itu adalah sepasang kekasih yang tengah bertengkar.
            “Kau pikir tingkahmu yang seperti itu bagus, hah?! Seenaknya saja berlagak seperti pahlawan! Kau pikir membantuku memilih pesanan itu keren?! Tidak, bodoh! Seenaknya saja kau menggangguku! Seperti tempat ini milikmu saja!” seru Jieum berapi-api.
            Pemuda itu terbelalak mendengar kata-kata Jieum sementara tangannya tetap membersihkan rambut dan mantelnya yang basah.
            Jieum lalu melangkah kesal meninggalkan pemuda itu yang menatap kesal kepergiannya.
            “Gadis itu…” geramnya kesal.
***
            “Astaga, kenapa hari ini dingin sekali! Aku bisa mati beku jika menunggu disini terlalu lama.” Keluh Jieum menggosok-gosokkan tangannya, berharap itu bisa mengurangi rasa dingin yang dirasanya begitu menusuk tulang.
            Beberapa butir salju perlahan turun. Membuat Jieum menengadahkan kepalanya ke langit. Menatap butiran salju yang makin lama makin deras itu. dengan segera Jieum berlari untuk berteduh dan masuk ke sebuah kafe dengan aroma kopi yang khas. Mata Jieum menjelajahi interior klasik dari kafe itu. Berbagai jenis biji kopi dari berbagai negara terpajang di kotak-kotak kaca yang ada di dinding kafe itu. Dindingnya sendiri berwarna cokelat tua dengan motif kulit oak. Meja dan kursinya juga terbuat dari kayu oak yang diukir klasik. Menguatkan kesan klasik pada kafe itu.
            “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya seorang pelayan sambil menyodorkan sebuah menu dengan sampul cokelat tua berhiaskan ranting biji kopi.
            “Ehhm, aku ingin pesan espresso dan cheese cake.” Ucap Jieum senang.
            “Baiklah, silahkan tunggu 15 menit.”
            Tak butuh waktu lama, pesanan Jieum telah diantarkan ke mejanya. Jieum yang saat itu tengah sibuk mengutak-atik iPhonenya melihat sepasang tangan meletakkan pesanan itu di meja. Ia menengadahkan wajahnya untuk melihat pelayan itu.
            “Kau?!” ucap keduanya berbarengan dengan mata terbelalak bulat.
***
            “Kau orang yang waktu itu mengacaukan pesananku, kan?!” seru Jieum kaget melihat pemuda itu mengantarkan pesanan ke mejanya.
            “Kau gadis bodoh yang mempermalukanku?! Apa yang kau lakukan disini?!”
            “Kau pikir aku mengikutimu?! Aku hanya ingin makan disini! Kenapa?! Kau tidak suka?! Pelayan saja sombong.” Seru Jieum masih merasa kesal dengan pria itu.
            “Jaga mulutmu, gadis bodoh! Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya, hah?! Aku pemilik kafe ini!” seru pemuda itu tak mau kalah.
            “Oh, kau pemiliknya? Mukamu tidak menunjukkan kau seorang pemilik kafe.” Ucap Jieum sinis.
            “Astaga! Dosa apa yang telah kulakukan hingga bertemu gadis yang sebegitu menyebalkannya sepertimu?!” gerutu pemuda itu seraya meremas-remas rambutnya.
            “Lee Joon! Bisakah kau jangan berkelahi dengan pelanggan kita?!” seru seorang wanita paruh baya menghampirinya dan menjitak kepalanya.
            “Aduuh, eomma! Aku tidak berkelahi dengannya! Dia yang memulai duluan!” seru pemuda itu menyalahkan Jieum yang tak mau kalah.
            “Tidak, ahjumma. Dia yang memulai duluan. Untuk apa aku jauh-jauh datang kesini hanya untuk mengajak pria bodoh itu berkelahi?!”
            Kedua anak muda itu sibuk saling menyalahkan masing-masing. Membuat wanita paruh baya itu membentak keduanya.
            “Kalian berdua! Diam! Duduk dan selesaikan masalah kalian!” seru wanita paruh baya itu kesal.
            Keduanya terdiam dan hanya menuruti kata-kata wanita itu.
            KRIK KRIK…
            Keduanya hanya terdiam, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih dahulu. Wanita paruh baya itu melewati mereka seraya berdeham keras. Membuat pemuda itu kelabakan dan mulai memaksakan seulas senyum kepada Jieum.
            “Baiklah, maafkan aku soal yang kemarin. Aku hanya ingin semuanya selesai lebih cepat. Orang-orang yang mengantri di belakangmu itu sibuk menggerutu. Aku tak tahan mendengarnya.”
            Jieum tetap diam. Wajahnya tampak seperti kertas yang dilipat empat belas.
            “Kau mau memaafkanku atau tidak?” tanya pemuda itu lebih seperti memaksa.
            Jieum tak bergeming.
            “Kumohon, ayolah.” Pemuda itu meraih tangan Jieum dan mengecupnya. Membuat Jieum kelabakan dan salah tingkah.
            “Apa yang kau lakukan?” desisnya kesal.
            “Kau mau memaafkanku atau tidak?”
            Jieum hanya mendesah kesal.
            “Haah, baiklah baiklah. Tapi jangan bertingkah yang aneh-aneh lagi atau akan kubunuh kau!” geram Jieum kesal.
            “Yeey, gomawoyo. Ehmm, siapa namamu? Perkenalkan, aku Lee Joon. Kau pasti sudah mendengar eomma memanggilku, kan?”
            Gadis itu hanya diam. Malas menyambut uluran tangan itu. Lee Joon sudah bersiap-siap akan menciumnya dengan memonyong-monyongkan bibirnya. Hal itu berhasil membuat Jieum kesal dan menyambut uluran tangan itu.
            “Namaku Jieum. Kim Jieum. Puas?” serunya kesal.
            Pemuda itu hanya tertawa renyah. Sebuah sensasi hangat menelusup ke hati keduanya. Sengatan aneh yang sering disebut cinta. Love. Sarang.
***
            Dengan bantuan subway dan bus transit ia akhirnya sampai di tempat itu. Senyumnya merekah ketika ia melewati sebuah toko bunga.
            “Bunga apa yang Anda cari, ahgassi?” ucap sang pramuniaga ramah.
            “Ehhm, bunga apa yang melambangkan harapan?”
            “Tulip kuning. Warnanya yang cerah melambangkan harapan bagi kita. Anda mau bunga itu?”
            Jieum mengangguk.
            “Ne. Aku ingin satu buket.”
            Cerahnya bunga itu sama seperti cerahnya senyum gadis itu. Tak lama setelah 5 menit berjalan, ia akhirnya tiba di tempat yang ia tuju. Ia melangkah ke bawah pohon akasia yang sudah hampir meranggas. Hanya beberapa helai daun yang masih tampak ingin bertengger di rantingnya.
            Jieum segera berlutut dan meletakkan bunga itu.
            “Happy anniversary, Joonie-ya. Saranghaeyo.” Bisiknya lembut.
            Sebuah senyum tersungging.
            “Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah kau bahagia disana?” tanyanya pelan. Senyum yang tadi tersungging di bibirnya perlahan-lahan berubah menjadi tangis kegetiran.
            “Tidak terasa, ya? Sudah 5 tahun sejak kita pertama kali bertemu. Aku masih ingat dengan jelas kejadian memalukan itu. Aku tak akan pernah melupakannya. Itu kisah terindah dalam hidupku.” Ucap Jieum perlahan.
            “Jieum-ya, maukah kau menjadi kekasihku?
            Kata-kata itu terus terngiang di benak Jieum meskipun sudah 4 tahun yang lalu ia mendengarnya. Air matanya kembali menggenang.
            “Sudah 4 tahun ya aku menjadi kekasihmu? Kau tahu bagaimana perasaanku saat mendengar kau mengatakan itu? Senang, mungkin. Tapi bingung, kenapa aku bisa jatuh cinta dengan pemuda konyol sepertimu. Tetapi kekonyolanmu itulah yang membuatku setiap hari selalu merindukanmu. Ingin mendengar suaramu, tawamu, dan melihat senyum itu.”
            “Mi…an…hae…
            “Anniversary kita yang ketiga, kau benar-benar memberiku hadiah yang tak pernah kulupakan. Haruskah saat itu kau mengalami semua itu? Membuatku menunggu berjam-jam di kafe itu, tanpa tahu kalau orang yang kusayang tengah meregang nyawa? Bagaimana perasaanku saat itu? Sakit. Hanya sakit yang kuingat. Tak terlintas apapun di benakku. Mungkin beginilah rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Sampai sekarang rasanya luka itu belum kunjung sembuh. Setiap hari aku terus merasakan sakitnya, apalagi ketika aku melihat ke cermin. Melihat kalung ini selalu mengingatkanku padamu. Seandainya aku cukup tangguh untuk bertahan dan melupakanmu. Tapi aku tidak bisa, Joonie-ya. Aku benar-benar tak bisa melupakanmu bahkan untuk sedetik saja. Seolah-olah kau selalu ada di hidupku. Mengingat itu semua membuatku senang, tapi begitu aku sadar semuanya itu tak ada, hatiku kembali sakit. Sakit mengetahui kenyataan yang ada. Berharap aku hanya bermimpi.” Ucap Jieum getir. Air mata tak berhenti mengalir membasahi pipinya.
            “Jika ini hanya mimpi, aku berharap ingin cepat-cepat terbangun dan melihat kau menunggu di luar flat-ku dengan senyummu itu. Tapi berkali-kali aku berharap, berkali-kali pula aku merasa semakin sakit. Mengertikah kau perasaanku ini, Joonie-ya?”
            Jieum membersihkan daun-daun gugur yang mengotori makam itu. Tak peduli tangannya sudah beku karena menyentuh tanah yang teramat dingin. Ia hanya menggigiti bibir bawahnya. Menahan air matanya yang tak kunjung berhenti.
            “Mi…an…hae… yeobo. I just can’t live without you.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar