Author : Eternal Jewel
Genre : Angst
Rating : PG-15
Main Cast :
Kim Jieum (OC)
Jieum
memegang erat gelas kertas di tangannya. Cuaca dingin membuatnya sedikit
merapatkan mantel bulu cokelatnya. Ia tersenyum. Menatap jam tangan yang
melingkari pergelangan tangannya. Ia tengah menunggu subway yang akan
mengangkutnya ke tempat ia akan bertemu dengan namja kesayangannya.
Senyum tak
henti-hentinya tersungging dari bibir mungil Jieum. Ia menatap ke arah segelas
latte yang tengah dipegangnya.
“Cerita ini
dimulai dari segelas latte…”
***
Jieum
menghitung-hitung uang koin yang ada di dalam dompet pandanya.
“Sillyeohamnida,
ahgassi. Apakah kau masih lama menghitung uangmu? Sudah banyak yang
mengantri ingin menggunakan mesin ini.” ujar seorang wanita paruh baya kepada Jieum.
Jieum hanya
tersenyum tidak enak.
“Ehhm,
tunggu sebentar ya ahjumma, sebentar lagi aku selesai.”
Ia lalu
memasukkan beberapa keping koin 100 won dan kembali terpaku menatap layar
digital yang berkedip-kedip.
“Apa yang
ingin aku beli, ya? Espresso? Capuccino? Latte? Atau…” ucap Jieum
berpikir-pikir.
Sekitar
sepuluh orang yang berdiri di belakang Jieum benar-benar merasa kesal dan
mengutuk kenapa gadis seperti ini bisa terlahir ke dunia ini dan mengacaukan
hari mereka. Seorang pemuda menghampiri Jieum dan segera menekan tombol 3 pada
mesin itu.
“Ya! Mwohaneungeoya?!
Kenapa kau asal menekan saja! Itu latte! Aku tidak suka latte!” seru Jieum
kepada pemuda itu.
“Kau lihat
antrian di belakangmu? Aku hanya membuat semuanya menjadi lebih cepat. Jangan
kesal padaku, kesallah pada dirimu yang memesan terlalu lama. Kau pikir hanya
kau yang ingin membeli minuman?” ucap pemuda itu santai membuat Jieum
mengepalkan tangannya kesal.
Tiba-tiba
segelas latte itu menyiram kepala pria itu. Membuatnya terlonjak kaget.
“Mwohaneungeoya,
hah?! Lihat yang kau lakukan! Astaga!” seru pria itu sibuk mengelap
kepalanya yang terasa panas.
Semua orang
di tempat itu sontak terkejut dan sibuk memperhatikan mereka berdua. Beberapa
di antara mereka sibuk berbisik-bisik menduga-duga apa yang terjadi. Banyak
dari mereka yang beranggapan kalau Jieum dan pria tak dikenal itu adalah
sepasang kekasih yang tengah bertengkar.
“Kau pikir
tingkahmu yang seperti itu bagus, hah?! Seenaknya saja berlagak seperti
pahlawan! Kau pikir membantuku memilih pesanan itu keren?! Tidak, bodoh!
Seenaknya saja kau menggangguku! Seperti tempat ini milikmu saja!” seru Jieum
berapi-api.
Pemuda itu
terbelalak mendengar kata-kata Jieum sementara tangannya tetap membersihkan
rambut dan mantelnya yang basah.
Jieum lalu
melangkah kesal meninggalkan pemuda itu yang menatap kesal kepergiannya.
“Gadis itu…”
geramnya kesal.
***
“Astaga,
kenapa hari ini dingin sekali! Aku bisa mati beku jika menunggu disini terlalu
lama.” Keluh Jieum menggosok-gosokkan tangannya, berharap itu bisa mengurangi
rasa dingin yang dirasanya begitu menusuk tulang.
Beberapa
butir salju perlahan turun. Membuat Jieum menengadahkan kepalanya ke langit.
Menatap butiran salju yang makin lama makin deras itu. dengan segera Jieum
berlari untuk berteduh dan masuk ke sebuah kafe dengan aroma kopi yang khas.
Mata Jieum menjelajahi interior klasik dari kafe itu. Berbagai jenis biji kopi
dari berbagai negara terpajang di kotak-kotak kaca yang ada di dinding kafe
itu. Dindingnya sendiri berwarna cokelat tua dengan motif kulit oak. Meja dan
kursinya juga terbuat dari kayu oak yang diukir klasik. Menguatkan kesan klasik
pada kafe itu.
“Ada yang
bisa saya bantu, Nona?” tanya seorang pelayan sambil menyodorkan sebuah menu
dengan sampul cokelat tua berhiaskan ranting biji kopi.
“Ehhm, aku
ingin pesan espresso dan cheese cake.” Ucap Jieum senang.
“Baiklah,
silahkan tunggu 15 menit.”
Tak butuh
waktu lama, pesanan Jieum telah diantarkan ke mejanya. Jieum yang saat itu
tengah sibuk mengutak-atik iPhonenya melihat sepasang tangan meletakkan pesanan
itu di meja. Ia menengadahkan wajahnya untuk melihat pelayan itu.
“Kau?!” ucap
keduanya berbarengan dengan mata terbelalak bulat.
***
“Kau orang
yang waktu itu mengacaukan pesananku, kan?!” seru Jieum kaget melihat pemuda
itu mengantarkan pesanan ke mejanya.
“Kau gadis
bodoh yang mempermalukanku?! Apa yang kau lakukan disini?!”
“Kau pikir
aku mengikutimu?! Aku hanya ingin makan disini! Kenapa?! Kau tidak suka?!
Pelayan saja sombong.” Seru Jieum masih merasa kesal dengan pria itu.
“Jaga
mulutmu, gadis bodoh! Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya, hah?! Aku pemilik
kafe ini!” seru pemuda itu tak mau kalah.
“Oh, kau
pemiliknya? Mukamu tidak menunjukkan kau seorang pemilik kafe.” Ucap Jieum
sinis.
“Astaga!
Dosa apa yang telah kulakukan hingga bertemu gadis yang sebegitu menyebalkannya
sepertimu?!” gerutu pemuda itu seraya meremas-remas rambutnya.
“Lee Joon!
Bisakah kau jangan berkelahi dengan pelanggan kita?!” seru seorang wanita paruh
baya menghampirinya dan menjitak kepalanya.
“Aduuh, eomma!
Aku tidak berkelahi dengannya! Dia yang memulai duluan!” seru pemuda itu
menyalahkan Jieum yang tak mau kalah.
“Tidak, ahjumma.
Dia yang memulai duluan. Untuk apa aku jauh-jauh datang kesini hanya untuk
mengajak pria bodoh itu berkelahi?!”
Kedua anak
muda itu sibuk saling menyalahkan masing-masing. Membuat wanita paruh baya itu
membentak keduanya.
“Kalian
berdua! Diam! Duduk dan selesaikan masalah kalian!” seru wanita paruh baya itu
kesal.
Keduanya
terdiam dan hanya menuruti kata-kata wanita itu.
KRIK KRIK…
Keduanya
hanya terdiam, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih dahulu. Wanita
paruh baya itu melewati mereka seraya berdeham keras. Membuat pemuda itu
kelabakan dan mulai memaksakan seulas senyum kepada Jieum.
“Baiklah,
maafkan aku soal yang kemarin. Aku hanya ingin semuanya selesai lebih cepat.
Orang-orang yang mengantri di belakangmu itu sibuk menggerutu. Aku tak tahan
mendengarnya.”
Jieum tetap
diam. Wajahnya tampak seperti kertas yang dilipat empat belas.
“Kau mau
memaafkanku atau tidak?” tanya pemuda itu lebih seperti memaksa.
Jieum tak
bergeming.
“Kumohon,
ayolah.” Pemuda itu meraih tangan Jieum dan mengecupnya. Membuat Jieum
kelabakan dan salah tingkah.
“Apa yang
kau lakukan?” desisnya kesal.
“Kau mau
memaafkanku atau tidak?”
Jieum hanya
mendesah kesal.
“Haah,
baiklah baiklah. Tapi jangan bertingkah yang aneh-aneh lagi atau akan kubunuh
kau!” geram Jieum kesal.
“Yeey, gomawoyo.
Ehmm, siapa namamu? Perkenalkan, aku Lee Joon. Kau pasti sudah mendengar eomma
memanggilku, kan?”
Gadis itu
hanya diam. Malas menyambut uluran tangan itu. Lee Joon sudah bersiap-siap akan
menciumnya dengan memonyong-monyongkan bibirnya. Hal itu berhasil membuat Jieum
kesal dan menyambut uluran tangan itu.
“Namaku
Jieum. Kim Jieum. Puas?” serunya kesal.
Pemuda itu
hanya tertawa renyah. Sebuah sensasi hangat menelusup ke hati keduanya.
Sengatan aneh yang sering disebut cinta. Love. Sarang.
***
Dengan
bantuan subway dan bus transit ia akhirnya sampai di tempat itu. Senyumnya
merekah ketika ia melewati sebuah toko bunga.
“Bunga apa
yang Anda cari, ahgassi?” ucap sang pramuniaga ramah.
“Ehhm, bunga
apa yang melambangkan harapan?”
“Tulip
kuning. Warnanya yang cerah melambangkan harapan bagi kita. Anda mau bunga
itu?”
Jieum
mengangguk.
“Ne.
Aku ingin satu buket.”
Cerahnya
bunga itu sama seperti cerahnya senyum gadis itu. Tak lama setelah 5 menit
berjalan, ia akhirnya tiba di tempat yang ia tuju. Ia melangkah ke bawah pohon
akasia yang sudah hampir meranggas. Hanya beberapa helai daun yang masih tampak
ingin bertengger di rantingnya.
Jieum segera
berlutut dan meletakkan bunga itu.
“Happy
anniversary, Joonie-ya. Saranghaeyo.” Bisiknya lembut.
Sebuah
senyum tersungging.
“Bagaimana
keadaanmu sekarang? Apakah kau bahagia disana?” tanyanya pelan. Senyum yang
tadi tersungging di bibirnya perlahan-lahan berubah menjadi tangis kegetiran.
“Tidak
terasa, ya? Sudah 5 tahun sejak kita pertama kali bertemu. Aku masih ingat
dengan jelas kejadian memalukan itu. Aku tak akan pernah melupakannya. Itu
kisah terindah dalam hidupku.” Ucap Jieum perlahan.
“Jieum-ya,
maukah kau menjadi kekasihku?”
Kata-kata
itu terus terngiang di benak Jieum meskipun sudah 4 tahun yang lalu ia
mendengarnya. Air matanya kembali menggenang.
“Sudah 4
tahun ya aku menjadi kekasihmu? Kau tahu bagaimana perasaanku saat mendengar
kau mengatakan itu? Senang, mungkin. Tapi bingung, kenapa aku bisa jatuh cinta
dengan pemuda konyol sepertimu. Tetapi kekonyolanmu itulah yang membuatku
setiap hari selalu merindukanmu. Ingin mendengar suaramu, tawamu, dan melihat
senyum itu.”
“Mi…an…hae…”
“Anniversary
kita yang ketiga, kau benar-benar memberiku hadiah yang tak pernah
kulupakan. Haruskah saat itu kau mengalami semua itu? Membuatku menunggu
berjam-jam di kafe itu, tanpa tahu kalau orang yang kusayang tengah meregang
nyawa? Bagaimana perasaanku saat itu? Sakit. Hanya sakit yang kuingat. Tak
terlintas apapun di benakku. Mungkin beginilah rasanya kehilangan orang yang
kita cintai. Sampai sekarang rasanya luka itu belum kunjung sembuh. Setiap hari
aku terus merasakan sakitnya, apalagi ketika aku melihat ke cermin. Melihat
kalung ini selalu mengingatkanku padamu. Seandainya aku cukup tangguh untuk
bertahan dan melupakanmu. Tapi aku tidak bisa, Joonie-ya. Aku
benar-benar tak bisa melupakanmu bahkan untuk sedetik saja. Seolah-olah kau
selalu ada di hidupku. Mengingat itu semua membuatku senang, tapi begitu aku
sadar semuanya itu tak ada, hatiku kembali sakit. Sakit mengetahui kenyataan
yang ada. Berharap aku hanya bermimpi.” Ucap Jieum getir. Air mata tak berhenti
mengalir membasahi pipinya.
“Jika ini
hanya mimpi, aku berharap ingin cepat-cepat terbangun dan melihat kau menunggu
di luar flat-ku dengan senyummu itu. Tapi berkali-kali aku berharap,
berkali-kali pula aku merasa semakin sakit. Mengertikah kau perasaanku ini,
Joonie-ya?”
Jieum
membersihkan daun-daun gugur yang mengotori makam itu. Tak peduli tangannya
sudah beku karena menyentuh tanah yang teramat dingin. Ia hanya menggigiti
bibir bawahnya. Menahan air matanya yang tak kunjung berhenti.
“Mi…an…hae…
yeobo. I just can’t live without you.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar