Kamis, 21 Juni 2012

FF: My Tears (Oneshoot)



Author            : Eternal Jewel
Genre             : Sad Romance
Rating             : PG-15          
Main Cast      :
Krystal Jung f(x)
Choi Minho SHINee
Disclaimer      : Happy reading ^^ (mian kalo marginnya berantakan ^^V)
            Segerombolan anak laki-laki menatap Krystal yang berdiri malu-malu di sudut taman itu. Mereka saling berbisik sehingga membuat Krystal menjadi salah tingkah. Segerombolan anak laki-laki itu lalu mendorong seorang anak keluar dari kerumunan. Anak laki-laki itu menatap kesal pada teman-temannya.
            “Ehm, apakah kau anak yang baru pindah dari Amerika itu?” tanya anak laki-laki itu ragu.
            Krystal menatap anak laki-laki itu. Ia memaksakan sebuah senyum canggung di bibirnya. Awkward. Itulah yang ia rasakan.
            “Ah, ne.” jawabnya singkat.
            Anak laki-laki itu sumringah ketika mendengar Krystal yang berbicara dalam bahasa Korea.
            “Dimana kau tinggal?” tanyanya ramah.
            “Di sana.” Ucap Krystal singkat meninggalkan anak laki-laki itu pergi.
            Anak laki-laki itu menatap teman-temannya yang memasang senyum jahil.
            “Awas kalian!” geramnya kesal.
***
            Krystal menatap kosong ke langit senja. Bosan. Ia memperbaiki posisi duduknya di tepi jendela. Sebuah jendela persis berhadapan dengan jendelanya. Jendela itu perlahan bergeser dan terbuka. Seorang anak laki-laki berwajah ceria menyembulkan kepalanya keluar.
            “Ya! Kau anak yang tadi! Kenapa kau ada disini?” seru Krystal kaget melihat wajah anak itu.
            “Kenapa? Aku tinggal disini, bodoh!” serunya tidak setuju.
            Krystal hanya memandang anak itu jengkel. Beberapa jam di Korea ia sudah mendapatkan musuh.
            “Omo, kuharap appa cepat menyelesaikan tugasnya.” Decak Krystal seraya mengusap keningnya.
            “Mwo? Apa yang kau katakan?”
            Krystal mendelik menatap anak laki-laki yang tersenyum jahil.
            “Bukan urusanmu!” serunya menutup jendelanya kesal.
            Anak laki-laki itu tertawa keras melihat Krystal yang kesal dengan ulahnya.
            “Ya! Kau? Kenapa kau? Kau marah padaku, hah?!” seru anak itu pada Krystal.
            “Ne, aku marah padamu! Dan satu lagi, jangan panggil aku kau! Aku punya nama!”
            “Lalu aku harus memanggilmu bagaimana?” serunya pada Krystal yang membuka kembali jendelanya.
            “Krystal. Namaku Krystal. Oke? Jangan panggil aku kau lagi!” seru Krystal menutup jendelanya dan mengacuhkan anak laki-laki itu.
            “Baiklah, Krystal. Namaku Minho. Senang berkenalan denganmu!” seru anak laki-laki itu menutup jendelanya.
            Krystal membentur-benturkan kepalanya di lututnya yang terlipat.
            “Kurasa ini akan menjadi tempat yang paling menyebalkan.”
***
            Langit senja musim semi terlukis indah. Semburat merah bermunculan di cakrawala, bagaikan benang-benang halus yang menghiasi awan. Beberapa pasang burung gereja berterbangan dan hinggap di atap-atap rumah. Saling bersiul bersahutan. Krystal menghirup nafas dalam. Matanya tak jemu menatap damainya suasana menjelang senja. Suasana damai dan angin sepoi-sepoi yang bertiup memainkan rambutnya membuat Krystal merasa nyaman duduk berjam-jam di tepi jendelanya. Pandangannya tertuju ke jendela di hadapannya. Jendela bertirai putih itu masih tertutup rapat seperti tadi pagi. Menandakan pemiliknya yang belum kembali.
            “Aissh, apakah dia belum pulang juga?” gumamnya bingung.
            Sebuah suara datang dari kamar di hadapannya itu. pintu kamar itu terdorong terbuka. Krystal tersenyum simpul melihat sosok yang berdiri di ambang pintu itu. Seorang laki-laki masuk ke kamar itu. Krystal mengenali sosoknya yang langsung menuju jendela itu. Membukanya dan duduk di tepi jendela menghadap Krystal. Laki-laki itu terlihat sedih.
            “Wae, Minho-ya? Apa yang terjadi padamu?” tanyanya cemas.
            Laki-laki itu tersadar dan menggelengkan kepalanya lemah.
            “Wae?” tanya Krystal kembali.
            “Aniyo. Nal gwaenchanayo.” Elaknya yang tak membuat kebingungan Krystal hilang.
            Tangan Krystal menyentuh dahi Minho.
            “Apakah kau sakit?”
            “Aniyo.”
            “Lalu ada apa? Ceritakan padaku, Minho-ya. Apakah kau tidak percaya padaku?”
            Minho tersenyum tipis dan menghela nafas lelah.
            “Aku sedang patah hati.”
            Mulut Krystal menganga parah mendengar jawaban Minho.
            “Patah hati? Nugu? Siapa yang membuatmu patah hati?”
            Minho menatap kosong ke langit senja yang hampir gelap.
            “Han Seonhee.” Jawabnya singkat.
            “Han Seonhee? Gadis itu? Presiden klub teater?” seru Krystal tak percaya dengan apa yang didengarnya.
           “Ah, kau pun tak menyangka aku akan menyatakan cinta padanya. Semua orang berkata aku hanya bermimpi. Mendapatkan Seonhee yang merupakan primadona sekolah. Kau pun berpikir begitu kan?” kata Minho kecewa.
            “Aniyo! Aku tidak berkata begitu!” sergah Krystal yang merasa tak enak hati dengan perkataannya.
            “Bolehkah aku duduk di sampingmu?” pinta Minho menunjuk tempat kosong di samping Krystal.
            “Ah, ne. Tentu saja.” Ucap Krystal menggeser posisi duduknya.
            Minho melangkahkan kakinya ke arah jendela Krystal yang hanya berjarak beberapa senti darinya dan duduk di tepinya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Krystal yang sontak menjadi salah tingkah.
            “Mwohaneungeoya, Minho-ya?” tanya Krystal pelan melihat Minho yang menyandarkan kepalanya di bahunya.
            “Aniyo. Biarkan aku begini.” Ucapnya pelan.
            Minho menatap gadis itu yang kembali menengadahkan kepalanya ke langit. Sebuah perasaan menyusup ke hatinya saat itu. Getaran yang membuatnya tersenyum tanpa sadar. Krystal menoleh, menyadari Minho yang saat itu tengah menatapnya. Ia segera mengalihkan pandangannya kembali ke langit ketika Minho menahannya untuk memalingkan wajah.
            Laki-laki itu mendaratkan sebuah kecupan di bibir Krystal. Entah kecupan itu yang terlalu lama atau waktu yang terasa berjalan amat lambat. Minho menatap dalam ke mata Krystal yang tertunduk dalam.
            “Mianhae.” Ucap Minho tersenyum simpul.
            “Kenapa kau melakukan itu? Aku sahabatmu, Minho-ya.” Ucap Krystal pelan.
            “Mianhaeyo. Aku tidak ingin merusak persahabatan kita selama ini, tapi kini aku sadar selama ini aku sudah menutup mata pada orang yang benar-benar kucintai dan malah berpaling ke gadis yang baru kutemui. Aku mencintaimu, Krystal. Nae yeojachingu-ga doejullaeyo?”
            Rona merah mewarnai pipi Krystal yang putih bersih.
            “Kau mengatakan ini bukan karena patah hati, kan? Aku bukan pelampiasanmu, Minho-ya. Aku tidak ingin merusak persahabatan kita dengan semua omong kosong percintaan ini. aku mencintaimu, sebagai sahabat. Tidak lebih.” Ucap Krystal. Beberapa kalimat terakhir terlontar tanpa sadar dari mulut Krystal. Membuatnya mengutuk kebodohannya sendiri.
            Raut wajah Minho berubah murung. Seolah-olah awan hitam menutupi wajah tampannya.
            “Jadi, kau menolakku?”
            “Aniyo, aku tidak menolakmu. Aku tidak akan pernah tega melukai hati sahabatku. Tapi aku tak bisa menjadi kekasihmu. Aku tak ingin persahabatan kita berakhir ketika kita putus nanti. Aku ingin hubungan kita seperti janji kita. Sahabat sampai mati.” Jelasnya tersenyum tulus.
            Krystal melingkarkan tangannya ke pundak Minho dan mendekapnya erat ke dalam pelukannya. Rembulan yang mulai beranjak naik menampakkan sinarnya di malam yang gelap itu. Menyinari mereka yang sama-sama terluka karena kebodohan masing-masing.
***
            Sebuah lagu mengalun dari dalam tas Krystal. Ia tahu benar, itu ringtone ponselnya. Ia mengaduk tasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel berwarna pink dari dalamnya. Ia membaca nama yang tertera di layarnya. Sebuah senyum tersungging tanpa ia sadari. Ia menyentuh tombol jawab di layarnya.
            “Yeobbeoseyo?” sapanya ramah.
            “Krystal, kaukah itu?” tanya seorang laki-laki dengan nada cemas.
            “Ne, nuguseyo?”
            “Ini aku, Choi Min Seok.
            “Ah, Min Seok-Oppa. Apa kabarmu Oppa?”
            “Ah, kabarku baik-baik saja. Bukan karena itu aku meneleponmu Krystal. Ada yang ingin kuberitahukan padamu.” Ucap laki-laki itu cemas.
            “Mwo?”
            “Ini tentang Minho. Dia tengah sekarat. Lebih baik kau kesini. Dari tadi ia terus menerus menyebut namamu. Itulah kenapa oppa meneleponmu.
            Hati Krystal mencelos. Semua bayangan indahnya hari ini runtuh seketika. Ia tak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Mungkin lebih tepatnya Krystal tak ingin mempercayainya. Ia terus menerus berharap ini semua adalah kebohongan belaka. Ia berharap ketika Krystal datang kesana, Minho tengah berdiri dengan sehat di hadapannya.
            “M-m-mwo, Oppa? Apa yang kau katakan?” kata Krystal masih tak mempercayainya.
            Laki-laki itu menghembuskan nafas berat. Ia tahu gadis ini tak akan menerimanya dengan mudah.
            “Minho, dia sekarat. Segeralah datang ke Kangnam Hospital.
            Pandangan Krystal kosong. Kini pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Pergi ke Kangnam Hospital. Dengan segera ia memacu sedan putihnya menuju Kangnam Hospital. Pikirannya tak bisa berkonsentrasi ke jalanan. Pikirannya terus melayang kemana-mana. Memikirkan kemungkinan buruk yang terjadi. Tiba-tiba sedan yang Krystal tumpangi oleng. Dengan cepat Krystal mengambil alih kemudinya namun semua sudah terlambat. Mobil itu melaju kencang menuju pagar pembatas jalan. Krsytal hanya dapat menutup matanya rapat-rapat. Semua kenangan berputar cepat di benaknya bagaikan sebuah film. Krystal tersenyum tipis.
            “Selamat tinggal.”
***
            Seorang dokter berjalan keluar dari ruang gawat darurat seraya mengusap peluhnya. Seorang wanita berumur separuh abad menghampirirnya dengan wajah cemas. Seorang pria yang tampak lebih tua darinya dan seorang pria berumur dua puluhan menyusul di belakangnya.
            “Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya wanita itu cemas.
            Dokter itu tersenyum.
            “Anak Anda, Choi Minho berhasil melewati masa kritisnya. Dan yang lebih baik lagi, sekarang kesadarannya perlahan-lahan kembali.”
            Terdengar helaan nafas lega dari orang-orang yang menungguinya. Wanita itu menangis menumpahkan air mata bahagia. Kebahagiaan begitu menyelimuti hatinya dan keluarganya. Putranya telah berhasil bertahan.
            “Bolehkah saya menemuinya, Dokter?”
            “Nanti saja, Nyonya. Kita tunggu hingga keadaannya membaik.”
            “Setidaknya dia berhasil melewati masa kritisnya, Eomma.”
***
            Krystal menatap kosong ke arah pemuda itu. Ia menerawang tangannya yang menjadi semakin transparan. Ia tersenyum tipis. Krystal berjalan menghampiri pemuda itu. Air matanya mengalir perlahan. Pemuda itu tengah terbaring lemah dengan mata terpejam rapat. Sebuah kedamaian menelusup ke hari Krystal ketika melihat wajah pemuda itu. Krystal menggigiti bibir bawahnya. Tangannya menyentuh pipi pemuda itu.
            “Minho-ya, aku datang. Mungkin kau tak dapat melihatku. Tapi aku ingin kau tahu jika aku benar-benar merasa bersalah sekarang. Kenapa? Karena aku tak dapat bertemu denganmu hingga akhir hidupku. Walaupun aku sudah tidak bersamamu lagi, selama kau terus mengingatku aku akan tetap ada dalam hatimu. Maafkan aku telah membuatmu mengalami semua ini. Maafkan aku karena telah meninggalkanmu tanpa pamit. Maafkan aku.”
            Krystal melanjutkan kata-katanya.
            “Aku tahu kau sudah menghadapi saat-saat yang sulit. Melawan sakitmu itu. Tapi aku tak ingin kau menyerah, Minho. Aku ingin kau tetap hidup. Tetap tersenyum dan tertawa seperti dulu. Berjuanglah. Aku ingin kau kembali ke pelukan keluargamu. Aku rela walaupun harus mati, asalkan kau bahagia. Kembalilah ke dunia ini. Lanjutkan hidupmu.”
            Air mata Krystal semakin deras mengalir.
            “Mungkin ini terakhir kalinya aku melihatmu, menyentuhmu, dan berbicara denganmu. Sekarang aku harus pergi ke duniaku sendiri. Semoga kau bahagia, Minho-ya.”
            Krystal melangkah mantap meninggalkan pemuda itu walaupun hatinya sangat sulit untuk melepaskannya. Hatinya berontak dan menginginkan ia tetap berada di samping pemuda itu. Namun Krystal menelan kenyataan pahit itu. Ia tak bisa bersama pemuda itu lagi. Dunianya kini sudah berbeda.
            “Aku rela mati asalkan kau tetap hidup dan bahagia.” Ucapnya berkali-kali.
            Seseorang memeluknya dari belakang. Krystal menoleh. Minho memeluknya erat. Air mata menetes perlahan dari sudut matanya.
            “Kumohon, jangan pergi.” ucap Minho lirih.
            Krystal tersenyum getir.
            “Lepaskan aku, Minho-ya. Sudah saatnya aku pergi.”
            “Jebal, dorawa, Krystal. Aku, aku mencintaimu.”
            Krystal menatap kedua mata bening pemuda itu.
            “Nado saranghae. Tapi dunia kita kini sudah berbeda, Minho-ya. Aku tak bisa bersamamu lagi.”
            Minho terdiam. Hatinya pedih menyadari kenyataan.
            “Boleh aku meminta sesuatu padamu, Minho-ya? Untuk terakhir kalinya?”
            “Apa yang kau inginkan?”
            “Biarkanlah aku pergi. Dan aku ingin kau kembali hidup seperti biasa. Janji?” ucap Krystal mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Minho.
            Minho mengangguk dengan susah payah. Ia tak ingin gadis ini pergi meninggalkannya, tapi mungkin ini semua yang terbaik bagi mereka.
            “Ne.” jawabnya singkat.
            Tiba-tiba sosok Krystal mengabur dari pandangan Minho. Lama-kelamaan sosok itu menghilang dari hadapannya. Minho hanya bisa tersenyum pahit melihat Krystal yang kini telah pergi entah kemana.
***
            Minho membuka matanya yang terpejam rapat perlahan. Ia merasakan matanya begitu berat untuk dibuka. Ketika ia berhasil membuka matanya, ia melihat sosok ayah, ibu, dan kakaknya yang tengah menunggu dengan sabar. Minho tersenyum lemah melihat ketiga orang itu yang sumringah saat mengetahui Minho telah sadar.
            “Kau sudah sadar, anakku?” tanya Nyonya Choi bahagia.
            Minho tersenyum.
            “Syukurlah. Eomma, Appa, dan Hyungmu sangat mengkhawatirkanmu. Kami takut kami akan kehilanganmu, Minho. Tapi syukurlah, kau kembali.” ucap Nyonya Choi penuh haru.
            Setetes air mata mengalir dari sudut mata Minho. Perasaan bahagia memenuhi hatinya karena ia mendapatkan kesempatan hidup sekali lagi. Ia mendapatkan kesempatan untuk menyayangi keluarganya lagi. Ia mendapatkan kesempatan untuk mencintai Krystal lagi. Krystal? Ah, gadis itu. Minho kembali teringat akan mimpinya saat ia mengalami koma. Ia benar-benar berharap mimpinya itu hanyalah mimpi. Ia berharap ketika ia bangun dan kembali ke kamarnya, ia dapat melihat gadis itu tengah menunggunya seperti biasa. Dengan senyumannya yang tulus bagaikan seorang malaikat.
***
            Minho menatap jendela di seberang kamarnya. Kosong. Tak ditemuinya sosok gadis yang biasanya tersenyum ramah padanya. Bahkan kamar itu seperti tak tersentuh tangan manusia lagi. Walaupun tak ada sebutir pun debu yang mengotori kamar itu, perabotannya tetap tersusun rapi seperti tidak ada yang menempati kamar itu. Minho tersenyum getir.
            “Aku merindukanmu, Krystal. Apa yang kau lakukan sekarang? Apakah kau bahagia disana?” tanya Minho seraya menengadahkan pandangannya ke arah langit malam.
            Bintang-bintang menghiasi langit malam yang begitu cerah. Berlawanan dengan hati Minho yang kini tengah dirundung duka.
            “Maafkan aku, tapi aku tak dapat merelakanmu semudah itu. Aku masih terus hidup dalam bayanganmu. Kau tahu, setiap hari aku selalu duduk disini. Berharap kau akan ada di kamar itu, membuka jendelanya, dan duduk disana seperti dulu. Aku merindukan saat itu, Krystal. Semakin aku mengingatnya, semakin sakit hatiku karena aku tahu saat itu tak akan pernah terulang lagi. Aku tahu semua ini sia-sia, tapi aku terus berharap kau akan kembali ke sisiku. Jika aku memiliki mesin waktu, aku benar-benar ingin memutar balik waktu dan kembali ke masa itu. Memperbaiki semua kesalahanku dan kau tak perlu mengalami hal seperti itu.” kata Minho lirih.
            Bulir-bulir air mata mengalir di pipinya. Setiap tetesnya semakin membuat luka Minho terasa pedih. Satu tahun tak cukup membuat luka itu untuk sembuh. Ia masih merasakan luka itu begitu segar, seperti kejadian itu baru saja terjadi kemarin.
            “Every time I miss you, I can only hang on with my tears.”
-END-

1 komentar: